Tren Social Credit System (SCS) yang diprakarsai oleh Tiongkok kini menarik perhatian, dan dalam beberapa kasus, sedang diuji coba dalam bentuk yang dimodifikasi oleh negara-negara Asia lainnya sebagai alat untuk pengawasan warga dan tata kelola sosial. Meskipun seringkali berfokus pada kepatuhan finansial atau lalu lintas, potensi sistem ini untuk mengukur ‘kebaikan’ perilaku warga menimbulkan kekhawatiran serius.
Negara-negara Asia tertarik pada SCS Tiongkok karena efisiensi yang ditawarkannya dalam mengatasi masalah sosial seperti penipuan, pelanggaran lalu lintas berulang, atau ketidakpatuhan terhadap regulasi kesehatan publik. Implementasi awal cenderung bersifat sektoral, misalnya, sistem poin yang mengukur keandalan bisnis atau kelayakan kredit individu.
Namun, adopsi SCS di luar Tiongkok menghadapi hambatan besar terkait masalah privasi data dan perlindungan hak asasi manusia. Di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang lebih kuat, muncul kritik keras dari masyarakat sipil dan kelompok oposisi mengenai potensi penyalahgunaan sistem ini untuk menekan perbedaan pendapat politik.
Perkembangan Social Credit System di Asia adalah titik kritis antara efisiensi teknologi dan kebebasan sipil. Implementasi di luar Tiongkok akan menjadi ujian terhadap bagaimana negara-negara Asia menyeimbangkan tata kelola berbasis data dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

